Sekitar
tahun 80-
an di
kawasan
selatan
gunung
Semeru,
perbatasan
Kabupaten
Lumajang-
Malang,
Jatim di
hutan
lindung
yang lebat
masih
banyak
menjumpai
orang-
orang
yang
memiliki
ilmu Aji
Bayu
Bajra.
Mereka
pating
gleber
seperti
burung.
Hinggap
(Menclok)
dari
pohon
yang satu
ke pohon
yang lain.
Persis
seperti di
film-film
silat. Yang
membedakan
adalah
saat kita
dekati,
mereka
akan
menjauh
dan sama
sekali tidak
ingin
identitasnya
diungkap.
Suatu
ketika
dalam
sebuah
maneges,
saya
menjumpai
seseorang
pemilik
ajian bayu
bajra di
wilayah
itu. Duduk
bersila di
sebuah
batu besar
di tengah
sungai
mengalir
gemericik.
Saya
mencoba
menyapanya
dengan
salam. Dia
tidak
menjawab.
Baru
ketika
saya
mencoba
untuk
menggunakan
bahasa
tubuh
yang
artinya
bahwa
saya ingin
bercakap-
cakap
dengannya,
maka dia
akhirnya
memberi
isyarat.
Jari
telunjuknya
ditempatkan
di depan
mulut.
Matanya
memandang
santun
dan
lembut
mata
saya.
Sebuah
sorotan
yang
sejuk
namun
tegas dan
berdaya.
Batin saya
langsung
membaca
ini orang
waskita
yang tidak
sembarangan:
dia
sedang
maneges
kepada
Gusti.
Belum
sempat
saya
meneruskan
komunikasi
dengan
bahasa
tubuh
yang lain,
dia
langsung
meloncat
ke sebuah
pohon
yang
rimbun
dan
meneruskan
melompat
ke pohon
yang lain.
Hingga
akhirnya
hanya
gerakan-
gerakan
dedaunannya
saja yang
terlihat.
Orang
waskita itu
pun
menghilang.
Saya
hanya
berujar:
Selamat
jalan,
hamba
Gusti
Allah
yang
waskita
… .
Orang
yang bisa
terbang
atau
meloncat
dari dahan
yang satu
ke dahan
yang lain
ini bagi
para
leluhur
tanah
Jawa
adalah
soal yang
mudah.
Gaya
hidup
keseharian
para
leluhur
yang
dekat
bahkan
menyatu
dengan
alam
membuat
mereka
mampu
menemukan
ilmu-ilmu/
ajian-ajian
yang
beraneka
rupa. Hobi
para
leluhur
yang
gentur
olah rasa/
batin,
menggunakan
ilmu titen
untuk
membaca
fenomena
alam dan
gemar
mempersatukan
diri
dengan
semua
jenis
kekuatan
(fisik dan
metafisik)
membuat
mereka
digdaya.
Para
leluhur
tidak perlu
membeli
handphone
dan SMS
untuk
menghubungi
para
sedulurnya.
Mereka
juga tidak
bisa
menggunakan
email atau
facebook
untuk
saling
curhat.
Dari
keterpisahan
jarak dan
waktu,
mereka
menggunakan
kemampuan
intuisi
untuk
saling
berkomunikasi
(orang
sekarang
menyebut
telepati).
Namun,
bila dirasa
sangat
urgen
untuk
bertemu
dengan
sedulurnya,
mereka
akan
berjalan
kaki atau
menggunakan
kuda
sebagai
alat
transportasi.
Segelintir
leluhur
lain yang
waskita
akan
menggunakan
ajian Sapu
Jagad dan
Bayu
Bajra
untuk
bepergian
jarak jauh.
Aji Bayu
Bajra
mensyaratkan
agar
penggunanya
sudah
memiliki
kedewasaan
mental
spiritual.
Ia
haruslah
orang
yang
sudah
“ berumur”
dan tidak
ingin
menonjolkan
diri lagi di
depan
publik. Dia
sepi ing
pamrih
rame ing
gawe.
Tubuh
fisiknya
bisa
seringan
kapas
karena dia
tidak lagi
diliputi
nafsu
keduniawian
sedikitpun
sehingga
yang ada
dalam
hidupnya
hanyalah
menunggu
titah-Nya
saja. Jiwa
yang
masih
“ berat”
condong
ke dunia,
mustahil
memiliki
ilmu ini
dengan
seempurna.
Para
pemilik
ilmu ajian
ini adalah
orang
yang
sangat
pendiam.
‘ Tapa
meneng’
dan hanya
boleh
berbicara
bila sangat
terpaksa.
Satu dua
kalimat
pun harus
diucapkan
dengan
bijaksana.
Yakni
untuk
menyampaikan
ajaran-
ajaran
kebajikan
yang
menjadi
tanggungjawab
besarnya
di dunia.
Laku
prihatin
dan
hidupnya
harus bisa
diteladani
oleh
orang
yang
pernah
melihat
dia walau
hanya
sekelebat.
Matra
untuk
matek
ajian Bayu
Bajra
diingatnya
di luar
kepala. Itu
mencerminkan
jiwanya
yang
bebas
seperti
burung….
“Putune
Bayu
Bajra yo
aku
Sing
nduwe
angkoso,
Nduwe
langit
Nduwe
awang-
awang
Aku
mabur
koyo
manuk
Kemlebat
koyo
alap-alap
Mabur
koyo
bidho
kang ora
nate
kesel
Mabur……
burrr!!!!!!!!!!!
Maburku
luwih
banter
tinimbang
angen-
angen..”
Itulah
mantra
yang
dibaca
oleh
hamba
Gusti Allah
yang
pernah
saya
jumpai di
kawasan
selatan
gunung
Semeru
yang kini
entah ada
di mana.
Home »Unlabelled » AMALAN AJI BAYU BAJRA
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar